Bab 2
Bab 2 Kue Seharga Seratus Ribu
Suara keras terdengar dari ujung telepon, seolah-olah ada meja dan kursi yang terbalik.
Draco pun menjawab dengan nada gemetar, “Bos, ini benar-benar kamu? Ke mana saja kamu?”
“Selama ini, bos nggak ada kabar sama sekali. Teman-teman juga sangat panik.”
“Tapi, identitasmu sangat rahasia. Tanpa perintah, kami nggak berani pergi mencarimu.”
Sambil menghela napas, Ardika lalu menjawab, “Aku bertemu beberapa orang licik. Nggak masalah, sekarang aku sudah pulih.”
“Ada orang yang ingin mencelakakanmu? Siapa? Bos, berikan perintah! Aku akan bawa teman-teman untuk meratakan mereka,” bentak Draco.
“Nggak perlu,” jawab Ardika dengan ekspresi dingin. Terkait masalah Keluarga Mahasura, dia tidak ingin menggunakan bantuan dari luar. Semua ini harus diselesaikan oleh Ardika sendiri.
“Ada satu hal yang perlu kamu lakukan.”
“Malam ini, segera bawa Grup Angkasa Sura ke Kota Banyuli.”
“Selain itu, umumkan bahwa kita akan berinvestasi 20 triliun di Kota Banyuli.”
Selama tiga tahun bergabung dengan militer, Ardika tidak hanya memimpin bawahan untuk berperang. Dia juga membangun sebuah kerajaan bisnis di luar negeri yang bernama Grup Angkasa Sura!
Dia akan menggunakan Grup Angkasa Sura untuk membantu Luna.
“Siap!” jawab Draco tanpa ragu. “Bos, aku akan segera datang ke Kota Banyuli. Ketika kamu menghilang, ada orang-orang yang mulai bergerak di luar sana maupun di dalam. Aku harus melaporkan beberapa hal kepadamu langsung.”
“Baik.”
…
Grup Angkasa Sura masuk ke Kota Banyuli dengan kehebohan besar.
Malam itu, seperti ledakan bom yang besar, kabar tersebut langsung tersebar di seluruh Kota Banyuli.
Semua orang tahu bahwa hal itu akan mengubah situasi kekuatan keluarga besar di Kota Banyuli.
Grup Angkasa Sura merupakan perusahaan pemodal kelas atas yang memiliki modal investasi dalam jumlah besar. Mereka berfokus pada bisnis investasi.
Kalau salah satu keluarga di Kota Banyuli berhasil bekerja sama dengan Grup Angkasa Sura, kekuatan keluarga tersebut pasti akan meroket dan menduduki puncak Kota Banyuli.
Keesokan harinya, Ardika meninggalkan rumah sakit dan pergi ke kediaman Keluarga Basagita.
Vila Keluarga Basagita.
Hari ini Tuan Besar Basagita berulang tahun yang ke-70, suasana seluruh vila Keluarga Basagita tampak sangat bahagia dan juga meriah.
“Wulan Basagita, memberikan hadiah satu vas seharga 1,2 miliar.”
“Wisnu Basagita, memberikan hadiah satu patung emas seharga 800 juta.”
Melihat satu per satu orang yang datang memberi hadiah, Tuan Besar Basagita yang duduk di kursi utama menunjukkan ekspresi gembira.
Suasana di dalam vila begitu bahagia, tetapi pada saat ini ….
“Luna Basagita, memberikan hadiah kue buatan sendiri seharga … seratus ribu.”
Semua orang tertegun secara serentak, mereka pun menatap Luna yang membawa kue dengan ekspresi aneh.
“Memalukan! Kamu membawa hadiah seperti itu untukku?”
Ekspresi Tuan Besar Basagita sangat masam.
“Kakek, aku ….”
Luna menundukkan kepalanya, ketika ingin menjelaskan, kakak sepupu yang bernama Wulan pun memotongnya dengan ekspresi sinis, “Luna, hari ini ulang tahun Kakek yang ke-70. Hadiah yang kami berikan bernilai ratusan juta sampai miliaran. Kenapa kamu malah membawa kue busuk seperti itu? Kenapa ada cucu pelit sepertimu?”
Hubungan Wulan selalu tidak baik dengan Luna, dia juga iri karena Luna lebih cantik darinya.
Luna merasa sangat sedih. Dia menundukkan kepalanya sambil menjelaskan, “Kakak, aku juga nggak ingin memberikan satu kue saja. Tapi sekarang, keluarga kami terlilit utang, perusahaan juga hampir bangkrut. Jadi ….”
“Kenapa? Berlagak miskin lagi? Memangnya miskin itu bisa dijadikan alasan?”
Plak!
Sambil mendengkus dingin, Wulan mengangkat tangan kanannya dan menjatuhkan kue tersebut ke lantai.
“Anjing saja nggak mau makan kue busuk seperti itu. Aku nggak tahu kenapa kamu berani memberikan hadiah seperti itu kepada Kakek.”
Melihat kue yang jatuh berantakan tersebut, mata Luna mulai memerah.
Luna menghabiskan waktu sepanjang malam untuk membuat kue tersebut, itu adalah niat yang tulus. Siapa sangka, keluarganya malah tidak menghargainya.
Saat ini, kakaknya Wulan yang bernama Wisnu berjalan mendekat sambil menatap Luna dengan jijik.
“Luna, jangan-jangan kamu hanya ingin memberikan hadiah murah, lalu datang makan enak, ya?”
“Bagaimanapun, Kakek menyiapkan banyak makanan enak dan mahal di ulang tahun kali ini. Kalian sekeluarga pasti nggak pernah melihatnya, ‘kan?”
Seketika, semua orang tertawa terbahak-bahak.
“Benar kata Wisnu. Sepertinya kalian sekeluarga datang untuk makan gratis.”
“Tapi, kalian tentu saja nggak berhak makan makanan enak dan mahal ini.”
“Suruh bagian dapur masak mi untuk mereka saja.”
“Jangan meninggikan mereka. Mereka hanya perlu makan makanan sisa semalam saja. Bagi mereka, makanan sisaan semalam sudah termasuk makanan enak.”
Tuan Besar Basagita juga ikut tertawa. Dia lalu berkata dengan ekspresi lebih tenang, “Masak mi saja buat mereka, lagi pula masakan sisa itu buat anjing.”
“Kakek memang baik hati. Luna, cepat ucapkan terima kasih sama Kakek,” ucap Wulan dengan tatapan sinis.
Luna menggigit bibirnya dengan mata merah, dia juga tidak menjawab.
“Sudah, bentar lagi kita akan mulai makan. Wulan, cepat atur orang-orang untuk duduk.”
Tuan Besar Basagita tidak peduli dengan reaksi Luna, melainkan memberikan perintah sambil melambaikan tangannya.
Setelah mendapat perintah dari Tuan Besar Basagita, Wulan segera berdiri dan berkata, “Bagi keluarga yang berkontribusi 20 miliar ke atas, duduk di meja utama.”
“Keluarga yang berkontribusi 10 miliar ke atas, duduk di baris pertama.”
“Keluarga yang berkontribusi 2 miliar ….”
…
Tak lama kemudian, semua orang sudah duduk. NôvelDrama.Org holds this content.
Hanya Luna sekeluarga yang berdiri dengan ekspresi canggung.
Luna lalu bertanya dengan wajah merah, “Wulan, kami duduk di mana?”
Wulan menjawab dengan sinis, “Duduk di mana? Bukannya ada kursi dan meja lipat di pojokan? Kalian duduk saja di sana. Aku akan menyajikan tiga mangkuk mi untuk kalian nanti.”
Tindakannya benar-benar sangat merendahkan. Sambil menahan air mata, Luna berkata, “Kita adalah keluarga, kenapa kamu sengaja memperlakukan kami seperti itu?”
Wulan menjawab dengan ekspresi sinis, “Kenapa? Nggak terima? Semua kursi di sini hanya untuk orang-orang yang berkontribusi. Makin besar kontribusi yang diberikan, tempat duduknya makin bagus. Begitu juga sebaliknya.”
Pada saat ini, terdengar suara dari depan pintu, “Kalau begitu, orang yang berkontribusi 20 triliun duduk di mana?”
Berkontribusi 20 triliun?
Siapa yang punya nyali untuk berkata seperti itu?
Semua orang melihat ke sumber suara, lalu menyadari kehadiran Ardika di depan pintu.
Seketika, semua orang tertawa terbahak-bahak.
“Aku kira siapa, ternyata Ardika si idiot!”
“Memangnya dia tahu 20 triliun itu berapa angka nolnya? Sepertinya dia bahkan nggak bisa berhitung dengan benar.”
Sambil menepuk pegangan kursi, Tuan Besar Basagita berkata, “Kalau kamu bisa berkontribusi 20 triliun, aku bahkan berani memberikan kursi ini kepadamu.”
“Sayangnya, seorang idiot sepertimu bahkan nggak bisa mengeluarkan satu perak pun.”
Ucapan itu membuat semua orang kembali tertawa.
Wulan pun ikut mengoceh dengan ekspresi jijik, “Luna, beraninya kamu membawa si idiot itu ke kediaman Keluarga Basagita? Memangnya kamu nggak malu, ya?”
Luna sekeluarga benar-benar ingin mencari tempat untuk bersembunyi.
“Dasar idiot, kenapa kamu datang ke sini? Cepat pergi!” Ibu mertuanya yang bernama Desi Liwanto mengangkat tangan untuk menampar Ardika, tetapi Ardika berhasil menghindarinya.
Semua orang tertegun, lalu menatap Ardika dengan ekspresi aneh.
Biasanya si idiot ini selalu dipukul, apa yang terjadi hari ini?
Apakah dia sudah sembuh?