Antara Dendam dan Penyesalan

Bab 637



GET IT NOW

Bab 637

Selena terdiam, masa depan dalam bayangannya masih penuh dengan ketidakjelasan.

Dia merasa seperti seorang biksu di kuil kuno yang mencapai pencerahan, yang sudah kehilangan nafsu duniawi, tanpa perasaan cinta dan kebencian.

Harvey bilang akan membawanya sekolah kedokteran, dan Selena setuju.

Selena tidak memiliki perasaan khusus tentang sekolah kedokteran ataupun bisnis, yang mana pun

boleh.

Harvey tidak marah ketika Selena tidak menjawab pertanyaannya. Harvey berbisik dengan serius di telinga Selena, “Seli, aku berbeda denganmu. Di mataku dan hatiku, masa lalu dan masa depanku

semuanya dipenuhi dirimu.”

Setelah selesai bersiap–siap, Harvey mencium kening Selena dan pergi dengan gagah.

Selena malah hanya melihat Harvey pergi sambil menggendong Bonbon dengan wajah tanpa ekspresi dan tanpa perasaan apa pun yang bergejolak di hatinya.

Dia tidak menolak Harvey, tetapi juga tidak terlalu mencintainya.

Selena menghitung dengan jari jumlah hari yang tersisa sampai saatnya mereka meninggalkan Kota

Arama.

Sepertinya tidak banyak yang sayang ditinggalkan di sini.

Selama beberapa hari berikutnya, Harvey pergi keluar setiap hari sebelum fajar, tetapi di malam hari dia akan pulang tepat waktu untuk makan malam dengan Selena.

Dia juga menemani Selena menonton film setelah makan malam. Bunga di meja selalu diganti setiap hari dan cincinnya tidak pernah lepas dari tangannya.

Segala tindak tanduknya mengisyaratkan cintanya terhadap Selena..

Sehari sebelum berangkat, Harvey memeluknya dan bertanya, “Seli, apakah ada hal lain yang ingin kamu lakukan? Kali ini kamu pergi ke luar negeri untuk belajar, mungkin akan cukup lama sebelum kamu bisa

pulang lagi.”

Selena dengan tegas menjawab, “Nggak ada.”

Tidak ada keraguan atau kebimbangan sedikit pun.

Meskipun ini adalah hasil yang diinginkannya, Harvey malah merasa sedikit tidak tenang.

Dia tidak tahu mengapa dia memiliki perasaan seperti ini.

Harvey segera menghilangkan perasaan ini, dan mengatakan pada dirinya sendiri dalam hati bahwa semuanya akan baik–baik saja.

Dalam dua tahun, ketika Selena sudah menyukai kehidupannya yang baru dan sudah terbebas dari bahaya, keluarga mereka dapat bersatu kembali.

Pada hari keberangkatan, salju turun dengan lebat di luar. Benita menyeka air matanya dan dengan enggan mengucapkan selamat tinggal. Selena menyelipkan amplop merah yang sudah disiapkan sejak

tadi ke tangan Benita.

“Jaga dirimu baik–baik, Benita.”

“Nyonya juga harus menjaga diri sendiri dengan baik.”

Benita memasukkan amplop merah ke dalam saku bajunya sambil memegang tangan Selena dengan

erat. “Hidup yang baik ya dengan Tuan Muda Harvey.”

“Oke,” jawab Selena singkat.

Mobil dinyalakan, Selena melihat ke arah vila yang berangsur–angsur menjauh di kaca spion.

Kabarnya, vila itu adalah rumah tempat tinggalnya dengan Harvey sebagai pasangan suami istri.

Pada hari ini ketika dia akan pergi, hatinya malah sama sekali tidak merasa kehilangan.

Benita yang mengenakan jaket bulu tebal berdiri di persimpangan jalan sambil melambaikan tangannya. Dalam sekejap, kepala Benita sudah dipenuhi dengan serpihan salju dan rambutnya terlihat putih. Têxt belongs to NôvelDrama.Org.

Selena secara alami membayangkan jika keluarganya masih hidup, apakah keluarganya juga akan

mengucapkan selamat tinggal seperti ini.

Di ruang tunggu VIP bandara, Selena membolak–balik halaman majalah sambil mengenakan headphone

dan memakan sesuatu.

Dia menyadari bahwa frekuensi sakit perutnya belakangan ini semakin sering, jadi dia tidak berani makan makanan yang terlalu pedas dan membiarkan perutnya kosong terlalu lama.

Pagi ini karena bangun terlalu pagi dan tidak sempat sarapan, perutnya terasa sakit lagi sekarang.

“Ada apa?” Harvey menyadari ekspresi kesakitan yang terpampang di wajahnya.

“Nggak sempat sarapan tadi, jadi sakit perut.”

Harvey teringat kejadian tahun lalu ketika Selena memberitahunya bahwa dia memiliki penyakit lambung. “Sakit sekali?”

Melihat waktu penerbangan yang akan segera tiba, Selena tidak ingin membuat repot. Dia

menggelengkan kepala, “Nggak, hanya sedikit nggak nyaman, setelah makan sedikit, akan terasa lebih

baik.”

Harvey memberikan segelas air kepadanya, “Blar hangat perutnya.”

“Hmm.”

Melihat sudah waktunya, mereka berdua bangkit dan naik pesawat.

Saat hendak memasuki gerbang keberangkatan, terdengar suara seorang wanita, “Harvey, apakah kamu benar–benar akan meninggalkanku?”

Hanya saja saat itu agak ramai dan berisik, Selena merasa seperti mendengar seseorang memanggil

Harvey.

Baru saja akan menoleh, Harvey sudah mengarahkan kepalanya kembali ke depan.

“Sepertinya ada orang yang panggil kamu.”

“Nggak, kamu salah dengar.”

Selena mengikuti Harvey keluar dari gerbang keberangkatan, berdiri di depan jendela kaca yang besar, dan menoleh ke belakang untuk melihat sekilas..

Tampaknya ada seorang wanita di kursi roda dengan wajah penuh air mata yang mencoba mengejar mereka, tapi dihentikan.

“Apakah dia yang sedang memanggil kamu?”

Harvey menjawab tanpa ekspresi, “Bukan, ayo pergi.”


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.